Pada Minggu 25 November 2012, di Stadion Bukit Jalil, Malaysia, jutaan orang menjadi saksi bahwa terjadi revolusi sepak bola di Asia Tenggara dalam kejuaraan AFF Cup 2012. Revolusi apa? Tim Nasional Laos mampu mengimbangi, 2-2, bahkan dalam pertandingan itu Laos hampir mengalahkan Tim Nasional Indonesia. Biasanya Indonesia ketika menghadapi Laos, Indonesia menang besar.

Lihat saja dalam pertandingan-pertandingan seperti Piala Raja tahun 1969, Indonesia menang 3-1; Piala HUT Kota Jakarta 1972, Indonesia menang 5-1; Piala Tiger 1996, Indonesia menang 5-1; SEA Games 1997, Indonesia menang 5-2; Piala Tiger 2004, Indonesia menang 6-0; AFF Cup 2007, Indonesia menang 3-1; AFF Cup 2010, Indonesia menang 6-0.   

Dengan hasil 2-2 bisa dikatakan, meski masih ada peluang, Indonesia menuju semifinal bahkan final akan semakin berat. Sebab yang dihadapi selanjutnya adalah Malaysia dan Singapura.

Malaysia tentu akan mengandalkan dukungan dari pemain ke-12, penonton yang tumpah ruah, di samping dalam pertandingan terakhir Malaysia lebih sering menang dibanding Indonesia; sedang Singapura memiliki skill yang bisa dikatakan lebih di atas Indonesia.

Namun bisakah kita mengharap tim nasional kita mampu berbicara banyak dalam AFF Cup 2012? Tentu semua tim nasional mempersiapkan diri dengan sekuat tenaga, sehingga dalam ajang itu, siapa yang serius dalam pembinaan pemain dan mampu mengelola organisasi persatuan sepak bola yang akan menjadi juara.

Konflik di tubuh organisasi sepak bola di Indonesia sangat berpengaruh pada komposisi tim nasional. Pelarangan pemain dari klub yang tergabung dalam Liga Super Indonesia (LSI) membuat komposisi tim nasional untuk AFF 2012 kurang selektif, sehingga untuk menambal kekurangan, ada yang mencuri-curi pemain dari klub yang tergabung dalam LSI, seperti yang terjadi pada Bambang Pamungkas; maupun mendatangkan pemain naturalisasi.

Bila dibandingkan dengan Tim Nasional SEA Games asuhan Rachmad Darmawan, Tim AFF Cup 2012 ini masih jauh kualitasnya. Tim nasional asuhan Rachmad Darmawan memiliki kualitas pemain yang sungguh sangat luar biasa, mereka seperti Titus Bonai, Yongky Aribowo, Patrick Wanggai, Oktovianus Maniani, Ferdinand Sinaga, Kurnia Mega, dan Andik Vermansyah. Dan mereka saat ini lebih banyak bermain di klub yang tergabung dalam LSI.

Sebab semua disusun secara tergesa-gesa maka selektifitas pemain naturalisasi pun juga jauh dari selektifitas. Sepertinya asal keturunan Indonesia, mereka dengan mudah bisa masuk tim nasional, padahal kapasitas dan kemampuannya tidak lebih bahkan di bawah kemampuan pemain-pemain asli Indonesia.

Pemain naturalisasi itu ada yang main di Divisi III, kalau di Indonesia mungkin kompetisi tingkat karesidenan. Tim nasional, di mana pun negaranya adalah sebuah prestise yang sangat luar biasa, namun di Indonesia, tim nasional sepertinya suatu hal yang murah dan mudah bagi pemain naturalisasi.

Mereka yang dinaturalisasi seperti Jhonny Van Beukering, Tonie Cusell, Raphael Maitimo, Irfan Bachdim, Arthur Irawan, kalau dilihat kemampuannya, bisa dikatakan tidak lebih dari rekannya setim, seperti Andik Virmansyah, Ellie Eboy, dan Bambang Pamungkas. Banyak kritikan ditujukan kepada kualitas pemain naturalisasi.

Entah mengapa Irfan Bachdim yang tidak dipilih oleh Benny Dollo, saat masih melatih Persija, menjadi bagian dari kesebelasan yang dijuluki Macan Kemayoran bisa dipuja-puja dan selalu menjadi andalan Tim Nasional. Padahal kalau kita lihat di lapangan, Irfan Bachdim lebih banyak berlari-lari daripada menggiring bola. Dan anehnya dalam 45 menit x 2, yang sering ditarik justru Bambang Pamungkas atau Otto Maniani, sedang ia justru tetap dipasang.

Tak profesionalnya Irfan Bachdim juga tampak ketika dirinya lebih mengutamakan pengambilan gambar untuk sebuah produk daripada menjadi bagian skuat Tim Nasional ASEAN Games sehingga membuat dirinya dicoret oleh Rachmad Darmawan atas tindakan indisipliner.

Pun demikian Arthur Irawan, saat melawan Timor Leste, menurut pandangan penulis, ia tidak menunjukkan kualitasnya sebagai pemain RCD Espanyol B. Dalam pertandingan itu dirinya tak menonjol dan tak mampu menunjukkan sebagai play maker.

Soal kualitas Arthur, pernah terjadi polemik antara sebuah media online dengan Nil Maizar. Sebuah media online menulis, Nil Maizar tidak terkesan dengan kemampuan Arthur dalam mengolah bola. Namun apa yang ditulis oleh media itu dibantah oleh Nil Maizar.

Dikatakan, dirinya tidak pernah menilai pemain sampai seperti itu. Menurutnya pemain yang ada di tim nasional saat ini adalah anak-anak bangsa yang istimewa. Meski akhirnya Arthur Irawan benar-benar dicoret dari tim nasional,

Pun demikian pemain naturalisasi seperti Jhonny Van Beukering. Pemain kelahiran Velp, Gelderland, Belanda, itu dikritik secara pedas oleh mantan pemain Tim Nasional Indonesia, Ferril Raymond Hattu. Menurut mantan pemain Petrokimia Putra itu Van Beukering belum pantas membela tim nasional. Alasannya, meski mempunyai skill yang lumayan, namun ia terlalu gemuk, akibatnya tidak bisa bermain cepat.

Sehingga kita jangan berharap banyak dengan tim nasional kita di AFF Cup tahun ini. Di satu sisi banyak pemain Indonesia yang hebat tidak bergabung dalam tim nasional, karena dilarang oleh klub. Mereka adalah pemain yang tergabung di LSI. Sedang naturalisasi yang dilakukan juga tak menunjukkan adanya peningkatan prestasi.

Bayangkan bila empat dari 11 pemain tim nasional adalah pemain naturalisasi dengan kemampuan yang masih dipertanyakan tentu hal itu akan berpengaruh pada permainan, kekompakan, dan kecepatan tim. Meski saat melawan Laos, ada pemain naturalisasi seperti Irfan Bachdim, Tonnie Cussel, dan Raphael Maitimo, namun hasilnya Indonesia tidak menang.

Entah apa yang ada di otak pengelola orang yang menangani tim nasional saat ini kok mereka merasa sangat bernafsu sekali untuk menaturalisasi pemain asing, empat dirasa kurang dan mau ditambah, padahal dari segi kualitas dan kedisiplinan, mereka terbukti banyak yang di bawah kualitas pemain asli Indonesia.

Naturalisasi memang menjadi model di banyak negara untuk memperkuat tim nasional, namun mereka tidak gegabah ketika menaturalisasi. Belanda, Jerman, Perancis, Inggris, Portugal, mereka melakukan naturalisasi dan terbilang sukses, sebab pemain yang dinaturalisasi mempunyai kapasitas dan kualitas yang diinginkan. Sementara Polandia melakukan naturalisasi gagal.

Otak orang yang mengurusi sepak bola di Indonesia saat ini lebih bersikap pragmatis. Mereka secara instan ingin meraih prestasi tanpa mau bekerja keras melakukan pembinaan.

Seharusnya kita meniru FAM, PSSI-nya Malaysia, dalam melakukan pembinaan. FAM tak melakukan naturalisasi namun terbukti sukses dalam prestasi, buktinya dalam final AFF tahun lalu mereka bisa lebih unggul dibanding Indonesia. Demikian pula Laos tanpa naturalisasi mereka mampu mengimbangi Indonesia.

Untuk saat ini, semuanya, terutama orang yang berkonflik dalam mengurusi organsiasi sepak bola, untuk duduk bersama dan meninggalkan ego. Karena ego-lah satu pihak ingin menghambat pembentukan tim nasional yang tanggguh dan asli Indonesia, dan di pihak lain merekrut pemain naturalisasi seenaknya sendiri.